Halaman

Kamis, 22 Mei 2008

Cermin masa lalu

Seharian ini blog walking, dapet tulisan bagus deh.

Jadi keingetan masa kecil dulu, belajar sepeda di halaman rumah alm emak (nenek ica dari papa). Jatoh2 ke got deket rumah, di ketawain ma kakak2 sepupu yang cowok semua (ca kan cucu emak prempuan paling gede, jadi saat itu ca cewek paling kecil kalo liburan di rumah alm emak), di dandanin jadi paling cantik bgt buat foto bareng. hehehe kerjaannya ka rohman tuh. Ikutan ujan2an bikin saung (rumah2an dari daun pisang ama kaen sinjang nya alm emak) sampe ca demam semaleman, trus tu kakak2 di omelin bapak datuk (panggilan kita untuk kakek) karena dah ujan2an. Dasar anake kecil..

Akhhh.. Ca kangen saat2 kita masih kecil dulu, sering liburan bareng2, di titipin ma mama papa nya di rumah emak tar di jemput lagi kalo liburan dah berakhir (dulu liburnya sebulan loh..). Sekarang kakak2 sepupu ca dah pada gede, dah punya keluarga sendiri. Ade2 ica juga ga ngalamin liburan ke sana, dulu kan yang dikirim cuma satu soalnya maksud laen di kirim liburan itu biar ga beranteman mulu ma ade nya. hehehe.. jarak ica ama ade2 sepupu juga mayan jauh, jadi ga begitu deket. Mereka ga ngalamin liburan bareng2 di rumah alm emak. Paling ketemu pas lebaran, trus cerita2 pengalaman seru kita waktu kecil itu ke anak2nya..

Andai ca punya kantong doraemon, ca pengen balik ke masa2 itu. Masa2 tanpa beban, yang di fikir cuma maen dan seneng2. Masa2 dimana masih ada alm emak yang sayang banget ma ica, ca deket bgt ma emak, ca lebih sering cerita ma emak daripada ama mama sampe2 dulu ca befikiran cuma emak yang sayang ica. Hhhh bener2 fikiran anak kecil.. Emak ca kangen.. ca kangen cerita.. ca kangen kita godain lagi bapak datuk kaya dulu.. ca kangen di peluk emak lagi.. Ya Allah.. Ya Rab Yang Maha Agung, Yang Maha Penuh Kasih Sayang dan Maha Bijaksana, Hamba mohon kepada Mu.. Semoga Kau menempatkan emak ku tersayang di tempat yang paling layak di sisiMu. Amin..

Dan tulisan yang membuat cerita masa kecil itu teringat kembali adalah..

Di masa kecil, saat pertama menyentuh benda bernama sepeda, kaki ini gemetar. Gemuruh di dada tak tertahankan sementara kedua tangan mencengkeram erat stang sepeda, padahal belum juga terkayuh pedal di kaki. Kedua mata menatap tajam menunggu lengang sepanjang jalan tertatap di depan, sebelum kayuhan pertama diayunkan. Satu kayuhan pun terayun, dan... lutut memar, lengan berdarah, ditambah kening sedikit benjol beradu kuat dengan aspal.

Menyerah? tentu tidak. Meski harus kembali terluka, menambah benjolan di sisi lain kening, atau menutup luka kemarin dengan luka yang baru, semangat tak pernah luntur demi bisa berdiri di atas sepeda roda dua. Esok hari, tambah lagi luka baru, atau luka yang sama bertambah parah, tetap saja terus berusaha mengayuh sepeda. Tiga kayuhan pertama, jatuh. Esok mendapat tujuh kayuhan, kemudian jatuh. Sebelas kayuhan, jatuh lagi dan seterusnya entah sudah keberapa ratus kali aspal jalan depan rumah itu bersahabat dengan lutut, lengan, kening ini. Hingga akhirnya jalan lurus, jalan terjal, mendaki dan turunan, hingga berlubang pun mampu dilewati dengan lincah, cepat dan yang penting, tidak lagi jatuh.

Menanjak remaja, sepeda motor pun dijajal. Tak peduli meski orang tua belum sanggup membelikannya, yang penting bisa dulu. Kali pertama menunggang kuda besi itu, ladang orang pun menjadi tempat pendaratan terbaik. Luka lama kembali terbuka, namun itu tak menyurutkan semangat. Malu rasanya tak mampu mengendarai motor layaknya semua teman lelaki di kampung. Bermodal semangat dan kepercayaan diri, ditambah sedikit gengsi kelelakian, melajulah motor tanpa lagi tersuruk di kebun singkong, tak lagi terparkir di tempat yang salah.

Di masa lalu, jatuh bangun pernah dialami. Sakit, luka, menangis, berdarah-darah menjadi sahabat sehari-hari. Tapi sakit, luka, air mata dan darah yang pernah menetes itu menjadi saksi bahwa semangat diri tak pernah padam untuk meraih keberhasilan. Tak hanya semangat, cita-cita untuk sekadar bisa melenggang mulus di atas sepeda atau motor yang begitu kuat, membuat diri rela jatuh bangun dan terluka. Sebuah pengorbanan yang harus dibayar.

Di masa lalu, kegagalan demi kegagalan pernah sangat rekat dengan diri ini. Pernah juga beberapa kesuksesan menjadi bagian kehidupan, gerimis hati ini saat menjalaninya. Jutaan jalan berlubang pernah terlalui, beberapa kali terjerembab di dalamnya. Jalan gelap begitu sering harus ditapaki, tak jarang menemui jalan buntu. Tak terbilang peluh saat mendaki, sementara senang tak terkira ketika mendapati jalan menurun. Yang membuat diri tak percaya, sungguh semuanya pernah dilalui.

Di masa silam, ada banyak sahabat baru berdatangan dan mengiringi hari-hari penuh kehangatan. Tak berbeda masanya, beberapa sahabat pernah pula meninggalkan diri, menjauh dan tak lagi pernah tahu gerangan dirinya. Pilu ketika harus berpisah, haru saat berjumpa kembali. Begitu banyak cinta bersemi, meski di waktu yang sama ada pula yang menabur benci pada diri.

Ketika masih sama-sama di bangku pendidikan, bersama sahabat mengukir mimpi. Melukis masa depan, membayangkan akan menjadi apa diri ini kelak, usia berapa menikah, seperti apa pasangan hidup nanti, berapa banyak anak yang dihasilkan, apa jenis kendaraan yang diinginkan, rumah sebesar apa yang didambakan, berapa banyak yang diinginkan saat kali pertama gajian, dan apa yang ingin dibeli dengan gaji pertama itu.

Waktu berlalu, mimpi terlewati, ada yang terwujud, tak sedikit yang menguap bersama awan di langit. Lukisan masa depan semakin buram, tak lagi jernih seperti saat pertama ditorehkan di atas kanvas harapan. Ada yang menyesali langkah tak tepat yang pernah ditempuh, ada yang mensyukuri karena tak selamanya apa yang dianggap benar, benar pula menurut Sang Maha Berkehendak.

Kita memang tak pernah bisa tahu yang akan terjadi besok, tetapi kita pernah punya masa lalu yang telah banyak memberi pengajaran. Kita pernah jatuh, terpuruk, sedih, bahagia, manis, pahit, terbang, menangis, tertawa, sendiri, bersama, di masa lalu. Sedangkan masa depan, kita hanya bisa mengukirnya di dalam bingkai mimpi, hanya bisa mengira, merencana dan merekayasa. Justru karena itulah, kita mesti belajar dari masa lalu. Karena masa lalu telah pernah mengajarkan semuanya. Bercermin dari masa lalu, agar rencana dan rekayasa untuk mimpi masa datang lebih mendekati kenyataan.

Bayu Gawtama

tulisan ini ca dapet dari sini